Brexit dan dampak pada perdagangan Eropa menjadi salah satu isu paling besar dalam sejarah modern, terutama setelah Inggris resmi keluar dari Uni Eropa. Perubahan besar ini tidak hanya mengguncang stabilitas politik, tetapi juga memberikan efek langsung terhadap perdagangan, investasi, serta hubungan bilateral antara Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Artikel ini akan membahas proses Brexit, dampak ekonominya, hingga arah baru hubungan bilateral pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Proses Brexit dimulai setelah referendum pada Juni 2016, ketika mayoritas warga Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa. Referendum tersebut menjadi titik balik sejarah politik modern Eropa, karena Inggris merupakan salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Uni Eropa. Namun, keputusan ini tidaklah instan, melainkan melalui tahapan panjang yang penuh dengan negosiasi kompleks.
Setelah referendum, pemerintah Inggris mengaktifkan Pasal 50 Perjanjian Lisbon pada Maret 2017. Pasal ini memberi waktu dua tahun bagi negara anggota yang ingin keluar untuk menegosiasikan persyaratan perpisahan. Meski begitu, proses ini memakan waktu lebih lama karena banyak perdebatan terkait perbatasan Irlandia, hak warga negara, serta perjanjian perdagangan baru. Akhirnya, pada 31 Januari 2020, Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa, memasuki periode transisi hingga akhir 2020.
Periode transisi ini penting karena memungkinkan Inggris dan Uni Eropa merumuskan perjanjian perdagangan baru. Setelah berbagai diskusi, akhirnya lahirlah “EU-UK Trade and Cooperation Agreement” yang mulai berlaku pada 1 Januari 2021. Kesepakatan ini menjadi fondasi baru bagi hubungan perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa, meskipun masih meninggalkan banyak tantangan praktis di lapangan.
Baca Juga: Krisis Daya Tampung SMA Banten
Brexit membawa dampak besar terhadap ekonomi Inggris maupun Uni Eropa. Salah satu dampak paling nyata adalah perubahan dalam arus perdagangan. Sebelum Brexit, Inggris menikmati akses bebas hambatan ke pasar tunggal Uni Eropa. Namun setelah keluar, hambatan baru muncul berupa tarif, aturan bea cukai, hingga standar regulasi yang berbeda. Hal ini memperlambat aliran barang dan meningkatkan biaya logistik.
Selain perdagangan barang, sektor jasa juga terdampak. Industri jasa keuangan di London, yang sebelumnya menjadi pusat finansial Eropa, mengalami pengurangan akses ke pasar Uni Eropa. Banyak perusahaan keuangan bahkan memindahkan sebagian operasi mereka ke kota lain di Eropa, seperti Frankfurt, Paris, dan Dublin, demi mempertahankan akses ke pasar UE. Perubahan ini mengguncang stabilitas London sebagai pusat keuangan global.
Di sisi lain, sektor ekspor Inggris ke negara-negara non-Eropa mengalami peningkatan karena pemerintah Inggris gencar menjalin kesepakatan perdagangan baru dengan negara di Asia, Amerika, dan Afrika. Meskipun begitu, banyak analis menyebutkan bahwa kerugian perdagangan dengan Uni Eropa masih jauh lebih besar daripada keuntungan dari pasar baru tersebut.
Uni Eropa sendiri juga tidak luput dari dampak Brexit. Negara-negara yang memiliki hubungan dagang besar dengan Inggris, seperti Jerman, Belanda, dan Irlandia, menghadapi penurunan ekspor. Terutama Irlandia, yang berbatasan langsung dengan Irlandia Utara, harus menyesuaikan kebijakan perbatasan dan logistik agar tidak menimbulkan konflik politik maupun ekonomi.
Baca Juga: Kylian Mbappé Sakit, Absen Bela Prancis
Setelah Brexit, hubungan bilateral antara Inggris dan negara-negara Eropa mengalami transformasi besar. Meskipun secara resmi berpisah, kedua pihak menyadari pentingnya menjaga hubungan yang stabil, terutama dalam bidang perdagangan, keamanan, dan penelitian.
Dalam perdagangan, kesepakatan EU-UK Trade and Cooperation Agreement menjadi dasar utama. Namun implementasinya tidak selalu berjalan mulus. Banyak perusahaan di Inggris dan Eropa yang masih menghadapi birokrasi rumit, keterlambatan pengiriman, serta biaya tambahan. Hal ini mendorong beberapa perusahaan untuk mencari alternatif pasar di luar kawasan Eropa.
Dari sisi politik, Brexit juga memunculkan perdebatan internal di Inggris, khususnya terkait Skotlandia dan Irlandia Utara. Skotlandia menunjukkan keinginan untuk mengadakan referendum kemerdekaan baru agar bisa kembali bergabung dengan Uni Eropa. Sementara itu, Irlandia Utara menghadapi dilema antara menjaga hubungannya dengan Inggris atau mendekat ke Republik Irlandia yang tetap menjadi anggota UE.
Di sisi lain, Inggris berusaha mempererat hubungan dengan negara-negara non-Eropa, termasuk Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan India. Langkah ini mencerminkan strategi “Global Britain” yang ingin menegaskan peran Inggris sebagai pemain global independen. Meski begitu, Eropa tetap menjadi mitra dagang terbesar dan paling penting bagi Inggris, sehingga hubungan bilateral pasca Brexit masih terus menjadi fokus utama bagi kedua belah pihak.
Brexit telah mengubah lanskap perdagangan dan ekonomi Eropa secara signifikan. Proses panjang keluar dari Uni Eropa, dampak ekonomi yang muncul, serta hubungan bilateral yang terus bertransformasi menunjukkan bahwa Brexit bukan sekadar keputusan politik, tetapi juga perubahan fundamental dalam dinamika ekonomi global. Meskipun Inggris kini berusaha membangun identitas baru di panggung internasional, hubungan dengan Eropa akan tetap menjadi fondasi utama yang menentukan masa depan perdagangan dan stabilitas ekonomi kawasan.