Ketegangan antara Rusia dan Ukraina telah menjadi salah satu konflik geopolitik paling penting di abad ke‑21. Sejak 2014, ketika aneksasi Krimea oleh Rusia memicu kecaman internasional, hingga eskalasi besar pada Februari 2022 ketika invasi skala penuh dimulai, konflik ini tidak hanya mengguncang kedua negara yang terlibat, tetapi juga menimbulkan implikasi serius bagi keamanan, ekonomi, dan politik di seluruh Eropa. Artikel ini mengevaluasi latar belakang konflik, dampak regionalnya, serta upaya diplomasi yang sedang berlangsung untuk meredakan ketegangan.
Hubungan Rusia–Ukraina dipengaruhi oleh sejarah panjang interaksi politik dan budaya sejak era Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Ukraina, yang memperoleh kemerdekaan setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, menghadapi tantangan transisi dari republik Soviet menjadi negara berdaulat. Bagi sebagian elite di Moskow, Ukraina dipandang sebagai bagian penting dari “lingkungan geopolitik Rusia”, bukan sekadar negara tetangga berdaulat.
Ketegangan meningkat ketika identitas nasional Ukraina semakin kuat, terutama setelah gerakan Euromaidan 2013–2014 yang menolak pemerintahan pro‑Rusia dan menuntut integrasi lebih dekat dengan Uni Eropa. Pilihan rakyat Ukraina untuk menjalin hubungan lebih erat dengan Barat memicu kekhawatiran Kremlin terhadap hilangnya pengaruh di kawasan yang dianggap strategis.
Baca Juga: Risiko tsunami di Jepang akibat erupsi Indonesia
Pada Maret 2014, Rusia secara de facto menganeksasi Semenanjung Krimea setelah referendum yang tidak diakui secara luas oleh komunitas internasional. Segera setelah itu, konflik bersenjata meletus di wilayah Donbas antara pasukan Ukraina dan separatis pro‑Rusia yang didukung Moskow.
Perang di Donbas bertahan sebagai konflik berkepanjangan yang memakan ribuan nyawa dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi. Gencatan senjata seperti Kesepakatan Minsk I dan II tidak sepenuhnya meredakan kekerasan, menegaskan kompleksitas konflik.
Pada Februari 2022, Rusia melancarkan invasi militer besar‑besaran ke Ukraina, meluas ke banyak front dan target strategis. Invasi ini memicu krisis kemanusiaan, kerusakan infrastruktur, dan gelombang sanksi internasional terhadap Moskow. Negara-negara Eropa dan NATO merespons dengan bantuan militer, ekonomi, dan diplomatik.
4Baca Juga: Normalisasi Sungai Ciliwung prioritas kurangi banjir
Negara-negara NATO di perbatasan Rusia atau Ukraina meningkatkan anggaran militer dan postur pertahanan. Latihan militer bersama diperluas, dan pasukan dikerahkan di wilayah timur aliansi untuk menunjukkan solidaritas.
Konflik ini memperlihatkan risiko ketergantungan Eropa pada energi Rusia. Fluktuasi harga gas mendorong Eropa mencari sumber alternatif seperti LNG AS dan mempercepat energi terbarukan.
Sanksi dan gangguan perdagangan menyebabkan harga komoditas naik, mempercepat inflasi di Eropa. Pemerintah harus menyesuaikan kebijakan sosial untuk meringankan tekanan pada masyarakat.
Jutaan warga Ukraina melarikan diri ke negara Eropa. Polandia, Rumania, dan Hungaria menyediakan akses pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan darurat.
Uni Eropa memperkuat solidaritas melalui sanksi dan bantuan ekonomi. Negara-negara Eropa semakin menegaskan peran mereka dalam arsitektur keamanan global.
PBB, Uni Eropa, dan NATO mendorong jalur diplomatik melalui gencatan senjata, perundingan damai, dan mediasi.
Minsk I & II pada 2014–2015 menurunkan intensitas pertempuran sementara, namun implementasinya sulit. Diplomasi multilateral terus berupaya mencari solusi damai.
Negara seperti Turki dan Swiss memfasilitasi komunikasi antara delegasi yang berseteru. Diplomasi ekonomi dan insentif digunakan untuk menekan Rusia agar kembali ke meja perundingan.
Ketegangan Rusia–Ukraina memiliki akar sejarah yang dalam dan dampak luas pada politik, ekonomi, energi, keamanan, dan krisis pengungsi di Eropa. Upaya diplomasi terus dilakukan, tetapi solusi berkelanjutan membutuhkan kompromi dan dukungan internasional yang konsisten.
Baca Juga: Joao Pedro cetak gol Chelsea semifinal Piala Dunia

