Laut Cina Selatan menjadi salah satu wilayah paling strategis sekaligus sensitif di dunia. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam, wilayah ini juga menjadi jalur perdagangan utama internasional. Konflik di Laut Cina Selatan telah memicu ketegangan politik, diplomatik, dan militer antara sejumlah negara, termasuk Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Dalam artikel ini, kita akan menguraikan klaim wilayah, ketegangan militer, serta peran ASEAN dan PBB dalam mengelola konflik tersebut.
Konflik Laut Cina Selatan bermula dari tumpang tindih klaim wilayah antara negara-negara pesisir. Cina mengklaim hampir seluruh wilayah laut ini melalui “Nine-Dash Line”, yang secara geografis meliputi hampir 90% kawasan Laut Cina Selatan. Klaim ini berbenturan dengan wilayah yang diklaim Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan.
Vietnam menegaskan hak historisnya atas Kepulauan Paracel dan Spratly, yang kaya akan minyak dan gas bumi. Filipina juga mengklaim sebagian Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal, dengan alasan kedekatan geografis dan hak eksplorasi perikanan. Malaysia dan Brunei menekankan klaim mereka di perairan ekonomi eksklusif masing-masing, sedangkan Taiwan mempertahankan kontrol atas beberapa pulau kecil di wilayah tersebut.
Persaingan klaim ini bukan hanya soal teritorial, tetapi juga terkait hak eksplorasi sumber daya alam. Potensi minyak dan gas di Laut Cina Selatan diperkirakan mencapai miliaran barel, sedangkan wilayah perairannya kaya akan ikan yang menjadi sumber utama pangan bagi negara-negara Asia Tenggara. Ketegangan ini juga semakin diperparah oleh pembangunan pulau buatan dan fasilitas militer di beberapa wilayah sengketa oleh Cina.
Baca Juga: Yono Bakrie: Umur, Biodata, IG, Pendidikan
Ketegangan militer di Laut Cina Selatan meningkat seiring dengan intensifikasi patroli militer dan latihan bersama. Cina telah membangun pangkalan militer di pulau-pulau buatan, termasuk landasan pacu, radar, dan fasilitas pertahanan canggih. Hal ini memicu kekhawatiran dari negara-negara tetangga yang juga memiliki klaim di wilayah tersebut.
Konflik kerap memanas akibat insiden pertemuan kapal militer, kapal patroli, dan pesawat di wilayah sengketa. Filipina dan Vietnam beberapa kali melaporkan adanya manuver kapal Cina yang dianggap agresif. Amerika Serikat juga terlibat melalui operasi “freedom of navigation” yang menegaskan kebebasan pelayaran di perairan internasional, meski hal ini kerap memicu ketegangan diplomatik dengan Beijing.
Latihan militer multinasional di kawasan ini, baik oleh ASEAN maupun negara-negara eksternal, bertujuan menunjukkan kekuatan dan kesiapan pertahanan. Namun, hal ini justru menambah dinamika ketegangan, karena setiap negara ingin mempertahankan klaimnya dan memperlihatkan kemampuan militer sebagai alat negosiasi geopolitik.
Baca Juga: Yolla Yuliana Pensiun dari Timnas
ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) memiliki peran penting dalam meredakan ketegangan di Laut Cina Selatan. Melalui berbagai forum, ASEAN mendorong dialog damai dan upaya mediasi antara negara-negara yang bersengketa. Salah satu inisiatif yang diupayakan adalah kode etik (Code of Conduct) yang disepakati untuk mengatur perilaku militer dan kapal di wilayah sengketa. Meskipun belum sepenuhnya efektif, langkah ini menunjukkan bahwa diplomasi regional menjadi alat penting dalam mengelola konflik.
PBB melalui Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) juga menjadi kerangka hukum internasional yang mengatur hak-hak negara pesisir. Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 2016 menyatakan bahwa klaim Cina atas “Nine-Dash Line” tidak memiliki dasar hukum internasional. Namun, Beijing menolak putusan tersebut, menegaskan posisi strategisnya di wilayah tersebut.
Selain itu, PBB dan lembaga internasional terkait berperan dalam memfasilitasi negosiasi, pengawasan keamanan maritim, dan pengelolaan sumber daya laut. Meskipun mekanisme ini seringkali menghadapi tantangan implementasi, peran diplomasi internasional tetap menjadi kunci untuk mencegah konflik berskala besar yang dapat mengganggu stabilitas regional dan global.
Baca Juga: Letusan Gunung Lewotobi
Konflik di Laut Cina Selatan tidak hanya berdampak pada politik dan militer, tetapi juga ekonomi dan sosial. Gangguan navigasi mengancam jalur perdagangan internasional, mengingat lebih dari 30% perdagangan global melewati wilayah ini. Ketegangan juga berpotensi memicu perlombaan senjata dan meningkatkan risiko insiden militer yang tidak diinginkan.
Prospek penyelesaian konflik tergantung pada kesediaan negara-negara untuk berkompromi dan memprioritaskan diplomasi. ASEAN dan PBB akan terus memainkan peran sebagai mediator, namun efektivitasnya bergantung pada kepatuhan semua pihak terhadap aturan internasional. Upaya kolaboratif dalam eksplorasi sumber daya dan pemanfaatan jalur maritim secara damai dapat menjadi jalan keluar untuk mencegah eskalasi konflik.
Dalam konteks geopolitik global, Laut Cina Selatan tetap menjadi titik fokus strategis. Keputusan negara-negara di kawasan ini, serta keterlibatan aktor eksternal seperti AS, akan menentukan stabilitas dan keamanan maritim di Asia Tenggara. Peningkatan dialog, transparansi, dan implementasi kode etik menjadi kunci untuk mengurangi risiko konflik di masa depan.