Trotoar yang sempit di area Grand Indonesia kini menjadi perhatian umum.
Banyak penduduk Jakarta merasakan ketidaknyamanan ketika berjalan di lokasi ini.
Gambar dan video tentang trotoar yang hanya muat untuk satu orang menjadi populer di berbagai media.
Kondisi ini dianggap berbahaya bagi pejalan kaki dan tidak pantas untuk kawasan pusat kota.
Trotoar yang berada di depan Grand Indonesia dianggap terlalu kecil untuk kota besar.
Pejalan kaki harus bergantian lewat, terutama di waktu sibuk.
Masyarakat menyatakan bahwa tempat ini sangat berisiko, terutama bagi penyandang disabilitas.
Sering kali, pejalan kaki memilih untuk menuruni jalan karena tidak ada ruang.
Kondisi ini meningkatkan kemungkinan kecelakaan lalu lintas.
Netizen memberikan banyak pendapat mengenai sempitnya trotoar di pusat perbelanjaan tersebut.
Banyak yang merasa sedih melihat kurangnya perhatian pada infrastruktur pejalan kaki.
Beberapa orang membandingkan keadaan ini dengan negara lain yang lebih ramah bagi pejalan kaki.
Banyak yang menyoroti ketidakseimbangan dalam pembangunan antara kendaraan dan pejalan kaki.
Beberapa figur publik juga berbicara mengenai hal ini dan mendorong pemerintah untuk bertindak.
Beberapa ahli tata kota menyebutkan beberapa alasan utama.
Pertama, desain trotoar yang tidak memperhitungkan volume pejalan kaki.
Kedua, ruang publik sering tersisih oleh area komersial dan infrastruktur bawah tanah.
Ketiga, mungkin saja kawasan pedestrian tidak menjadi prioritas dalam rancangan area tersebut.
Meskipun ini adalah lokasi strategis dan ramai pengunjung setiap hari.
Masyarakat merasa terpinggirkan karena hak-hak pejalan kaki tidak dipenuhi.
Beberapa pengguna kursi roda dan orang lanjut usia menganggap mereka tidak bisa mengakses area ini dengan aman.
Dampak lainnya adalah meningkatnya stres bagi pengguna jalan lainnya karena harus berbagi ruang dengan kendaraan.
Anak-anak dan keluarga juga menghindari trotoar sempit yang dianggap berbahaya.
Pada akhirnya, area tersebut kehilangan fungsi sebagai ruang publik yang inklusif.
DPRD dan Dinas Bina Marga DKI Jakarta mulai menerima banyak laporan dari masyarakat.
Mereka diminta untuk melakukan audit ulang pada desain area tersebut.
Permohonan ini mencakup perluasan trotoar dan penyesuaian jalur kendaraan.
Masyarakat juga menyarankan adanya kerjasama antara sektor swasta dan pemerintah untuk perbaikan.
Dorongan semakin kuat agar trotoar menjadi elemen penting dalam kota, bukan sekadar pelengkap.
Beberapa solusi yang diusulkan adalah pelebaran trotoar secara bertahap.
Jalur kendaraan dapat disesuaikan untuk memberikan ruang bagi pejalan kaki.
Desain ulang perlu mengikuti prinsip desain universal dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, pemerintah disarankan untuk menempatkan bangku, menyediakan pencahayaan yang baik, dan menciptakan jalur hijau.
Dengan melibatkan berbagai pihak, area ini dapat dijadikan model pembangunan yang berfokus pada manusia di Jakarta.
Beberapa perencana kota menyebutkan bahwa masalah ini menunjukkan ketidakmerataan dalam pembangunan.
Kota lebih mengutamakan kendaraan, sementara hak-hak pejalan kaki diabaikan.
Kritik ditujukan kepada pihak yang merancang kawasan komersial tanpa mempertimbangkan pejalan kaki.
Mereka menekankan bahwa trotoar adalah sangat penting untuk transportasi yang tidak menggunakan kendaraan bermotor.
Jika trotoar di pusat kota tidak dalam keadaan baik, maka kualitas hidup penduduk juga akan terpengaruh.
Masalah trotoar sempit di Grand Indonesia yang dikeluhkan oleh warga harus menjadi perhatian serius.
Ini bukan sekadar masalah kecil, tetapi persoalan perkotaan dengan dampak yang besar.
Pemerintah, perencana kota, dan pengelola wilayah perlu mengambil langkah cepat.
Trotoar adalah hak dasar setiap warga kota yang perlu dibuat aman dan nyaman.
Saatnya Jakarta bertransformasi menjadi kota yang ramah bagi semua orang — bukan hanya kendaraan.